1.
KASUS
KORUPSI Bank Century
Dalam
laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan Bank
Century sebelum diambil alih. BPK mengungkap sembilan temuan pelanggaran yang
terjadi. Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh Boediono–sekarang
wapres–dianggap tidak tegas pada pelanggaran Bank Century yang terjadi dalam
kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)–saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani–dalam menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada saat penyerahan Bank Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)–saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani–dalam menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada saat penyerahan Bank Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa peraturan agar Bank
Century mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian terungkap pula, saat Bank
Century dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana sebesar Rp 938 miliar yang
tentu saja, menurut BPK, melanggar peraturan BI. Pendek kata, terungkap
beberapa praktik perbankan yang tidak sehat.
2.
KASUS PEMALSUAN UANG
a.
Kasus di Bali. Dua pembuat dan pengedar uang palsu di Bali, ditangkap
petugas Polda Jawa Tengah (Jateng). Uang yang dipalsukan merupakan pecahan
terbesar, yakni Rp100.000,00. Pelaku bernama Handoyo, warga Banyumanik, Kota
Semarang dan Abdul Rohman, warga Desa Nglobar, Puwodadi, Grobogan. Dari
tangan keduanya, polisi menyita 1 set komputer yang digunakan oleh Handoyo
untuk membuat uang palsu. Polisi juga menyita sebuah scanner,printer,
40 buah tinta kering, monel sablon berisi gambar uang Rp100.000,00, kaleng cat,
sablon warna merah, kuning, dan hitam serta kaleng cat beserta tiner,flashdisk,
modem, dan 1 set film bergambar uang kertas pecahan
Rp100.000,00 (“Pemasok Uang Palsu Di Bali Dibekuk Di Jawa Tengah,” 2014).
b.
Kasus di Bandung. Kakek berinisial TS ditangkap oleh Subdit II
Direktorat Reserse Kriminal Polda Jawa Barat (Jabar) karena membuat uang logam
palsu pecahan Rp500,00. Sabtu (30/6), hal ini cukup mengagetkan jajaran
kepolisian karena kasus pemalsuan uang logam terbilang langka dan baru pertama
kalinya. Menurut data Polda Jabar, hal ini merupakan kasus yang pertama kali
terjadi (“Pemalsu Uang Logam Terancam Hukuman Seumur Hidup,” 2012).
c.
Kasus di Kalimantan Barat. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Kalimantan Barat sejak Januari sampai Juni 2014 menerima 268 lembar uang
palsu dari berbagai daerah. Menurut Kepala Kantor Perwakilan BI Kalbar
Hilman Tisnawan di Pontianak, sebagian besar uang palsu merupakan pecahan Rp
100.000. Tisnawan mengatakan “Jumlahnya 223 lembar, kemudian pecahan Rp
50.000 sebanyak 43 lembar, dan Rp 20.000 ada dua lembar” (“BI Kalbar
Terima 268 Lembar Uang Palsu,” 2014).
3.
KASUS
PEMBAJAKAN SOFTWARE (CD) DI JAKARTA
Jakarta
– Penyidik PPNS Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bersama BSA
(Business Software Association) dan Kepolisian melaksanakan Penindakan
Pelanggaran Hak Cipta atas Software di 2 tempat di Jakarta yaitu Mall Ambasador
dan Ratu Plasa pada hari Kamis (5/4). Penindakan di Mall Ambasador dan Ratu
Plaza dipimpin langsung oleh IR. Johno Supriyanto, M.Hum dan Salmon Pardede,
SH., M.Si dan 11 orang PPNS HKI. Penindakan ini dilakukan dikarenakan adanya
laporan dari BSA (Business Software Association) pada tanggal 10 Februari
2012 ke kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang mengetahui
adanya CD Software Bajakan yang dijual bebas di Mall Ambasador dan Ratu Plaza
di Jakarta. Dalam kegiatan ini berhasil di sita CD Software sebanyak 10.000
keping dari 2 tempat yang berbeda.
CD
software ini biasa di jual oleh para penjual yang ada di Mall Ambasador dan
Ratu Plasa seharga Rp.50.000-Rp.60.000 sedangkan harga asli software ini bisa
mencapai Rp.1.000.000 per softwarenya. Selain itu, Penggrebekan ini akan terus
dilaksanakan secara rutin tetapi pelaksanaan untuk penindakan dibuat secara
acak/random untuk wilayah di seluruh Indonesia. Salmon pardede, SH.,M.Si selaku
Kepala Sub Direktorat Pengaduan, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,
mengatakan bahwa “Dalam penindakan ini para pelaku pembajakan CD Software ini
dikenakan Pasal 72 ayat 2 yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja
menyiarkan,memamerkan,mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana paling lama penjara 5 tahun dan denda
paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah ) dan tidak menutup
kemungkinan dikenakan pasal 72 ayat 9 apabila dalam pemeriksaan tersangka
diketahui bahwa tersangka juga sebagai pabrikan”.
Dengan
adanya penindakan ini diharapkan kepada para pemilik mall untuk memberikan
arahan kepada penyewa counter untuk tidak menjual produk-produk software
bajakan karena produk bajakan ini tidak memberikan kontribusi kepada negara
dibidang pajak disamping itu untuk menghindari kecaman dari United States Trade
Representative (USTR) agar Indonesia tidak dicap sebagai negara pembajak.
4.
KASUS
DISKRIMINASI DI INDONESIA
JAKARTA, KOMPAS.com —
Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji dengan beragam tindakan
diskriminasi. Selama 14 tahun setelah reformasi, setidaknya ada 2.398 kasus
kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Yayasan Denny JA
mencatat, dari jumlah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar
agama/paham agama sebanyak 65 persen. Sisanya, secara berturut-turut adalah
kekerasan etnis (20 persen), kekerasan jender (15 persen), dan kekerasan
orientasi seksual (5 persen).
“Semenjak
reformasi, diskriminasi yang terjadi lebih bersifat priomordial, komunal, bukan
seperti diskriminasi ideologi yang terjadi pada masa Orde Baru,” ujar Direktur
Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, Minggu (23/12/2012), dalam jumpa pers di
Kantor Lingkaran Survei Indonesia (LSI), di Jakarta.
Dari
banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi, Yayasan Denny JA mendata setidaknya
ada lima kasus diskriminasi terburuk pasca 14 tahun reformasi. Kelima kasus itu
dinilai terburuk berdasarkan jumlah korban, lama konflik, luas konflik,
kerugian materi, dan frekuensi berita. Setiap variabel diberikan nilai 1-5
kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing variabel. Pembobotan skor 50
diberikan pada variabel jumlah korban, skor 40 untuk lamanya konflik, skor 30
untuk luas konflik, skor 20 untuk kerugian materi, dan skor 10 untuk frekuensi
berita. Hasilnya, konflik Ambon berada di posisi teratas, yakni dengan nilai
750, kemudian diikuti konflik Sampit (520), kerusuhan Mei 1998 (490),
pengungsian Ahmadiyah di Mataram (470), dan konflik Lampung Selatan (330).
“Lima
konflik terburuk ini setidaknya telah menghilangkan nyawa 10.000 warga negara
Indonesia,” ucap Novriantoni. Konflik Maluku menjadi konflik kekerasan dengan
latar agama yang telah menelan korban terbanyak, yakni 8.000-9.000 orang
meninggal dunia, dan telah menyebabkan kerugian materi 29.000 rumah terbakar,
45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur.
Rentang konflik yang terjadi juga yang paling lama, yakni sampai 4 tahun.
Sementara
konflik Sampit yang berlatar belakang etnis, yakni antara Dayak dan Madura,
telah menyebabkan 469 orang meninggal dunia dan 108.000 orang mengungsi.
Rentang konfliknya pun mencapai 10 hari. Konflik kerusuhan di Jakarta yang
terjadi pada 13-15 Mei 1998 juga tidak kalah hebatnya. Konflik ini menelan
korban 1.217 orang meninggal dunia, 85 orang diperkosa, dan 70.000 pengungsi.
Meski hanya berlangsung tiga hari, kerugian materi yang ditimbulkan mencapai
sekitar Rp 2,5 triliun.
Konflik
Ahmadiyah di Transito Mataram telah menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 8
orang luka-luka, 9 orang gangguan jiwa, 379 terusir, 9 orang dipaksa cerai, 3
orang keguguran, 61 orang putus sekolah, 45 orang dipersulit KTP, dan 322 orang
dipaksa keluar Ahmadiyah. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang besar,
konflik ini mendapat sorotan media cukup kuat dan rentang peristiwa
pascakonflik selama 8 tahun yang tak jelas bagi nasib para pengungsi.
Konflik
kekerasan yang terjadi di Lampung Selatan telah menimbulkan korban 14 orang
meninggal dunia dan 1.700 pengungsi. “Secara keseluruhan, negara terlihat
mengabaikan konflik-konflik yang sudah terjadi pelanggaran HAM berat. Dalam
beberapa kasus bahkan tidak ada pelaku atau otak pelaku kekerasan yang diusut,”
katanya.
Referensi :