Sabtu, 10 Juni 2017

CONTOH KASUS KORUPSI, PEMALSUAN, PEMBAJAKAN, DAN DISKRIMINASI YANG ADA DI INDONESIA

1.      KASUS KORUPSI Bank Century
Dalam laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan Bank Century sebelum diambil alih. BPK mengungkap sembilan temuan pelanggaran yang terjadi. Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh Boediono–sekarang wapres–dianggap tidak tegas pada pelanggaran Bank Century yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)–saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani–dalam menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada saat penyerahan Bank Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa peraturan agar Bank Century mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian terungkap pula, saat Bank Century dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana sebesar Rp 938 miliar yang tentu saja, menurut BPK, melanggar peraturan BI. Pendek kata, terungkap beberapa praktik perbankan yang tidak sehat.

2.      KASUS PEMALSUAN UANG
a.      Kasus di Bali. Dua pembuat dan pengedar uang palsu di Bali, ditangkap petugas Polda Jawa Tengah (Jateng). Uang yang dipalsukan merupakan pecahan terbesar, yakni Rp100.000,00. Pelaku bernama Handoyo, warga Banyumanik, Kota Semarang dan Abdul Rohman, warga Desa Nglobar, Puwodadi, Grobogan. Dari tangan keduanya, polisi menyita 1 set komputer yang digunakan oleh Handoyo untuk membuat uang palsu. Polisi juga menyita sebuah scanner,printer, 40 buah tinta kering, monel sablon berisi gambar uang Rp100.000,00, kaleng cat, sablon warna merah, kuning, dan hitam serta kaleng cat beserta tiner,flashdisk, modem, dan 1 set film bergambar uang kertas pecahan Rp100.000,00 (“Pemasok Uang Palsu Di Bali Dibekuk Di Jawa Tengah,” 2014).
b.      Kasus di Bandung. Kakek berinisial TS ditangkap oleh Subdit II Direktorat Reserse Kriminal Polda Jawa Barat (Jabar) karena membuat uang logam palsu pecahan Rp500,00. Sabtu (30/6), hal ini cukup mengagetkan jajaran kepolisian karena kasus pemalsuan uang logam terbilang langka dan baru pertama kalinya. Menurut data Polda Jabar, hal ini merupakan kasus yang pertama kali terjadi (“Pemalsu Uang Logam Terancam Hukuman Seumur Hidup,” 2012).
c.       Kasus di Kalimantan Barat. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi  Kalimantan Barat sejak Januari sampai Juni 2014 menerima 268 lembar uang palsu dari berbagai daerah. Menurut Kepala Kantor Perwakilan BI Kalbar Hilman Tisnawan di Pontianak, sebagian besar uang palsu merupakan pecahan Rp 100.000. Tisnawan mengatakan  “Jumlahnya 223 lembar, kemudian pecahan Rp 50.000 sebanyak 43 lembar, dan Rp 20.000 ada dua lembar”  (“BI Kalbar Terima 268 Lembar Uang Palsu,” 2014).

3.      KASUS PEMBAJAKAN SOFTWARE (CD) DI JAKARTA
Jakarta – Penyidik PPNS Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bersama BSA (Business Software Association) dan Kepolisian melaksanakan Penindakan Pelanggaran Hak Cipta atas Software di 2 tempat di Jakarta yaitu Mall Ambasador dan Ratu Plasa pada hari Kamis (5/4). Penindakan di Mall Ambasador dan Ratu Plaza dipimpin langsung oleh IR. Johno Supriyanto, M.Hum dan Salmon Pardede, SH., M.Si dan 11 orang PPNS HKI. Penindakan ini dilakukan dikarenakan adanya laporan dari BSA  (Business Software Association) pada tanggal 10 Februari 2012 ke kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang mengetahui adanya CD Software Bajakan yang dijual bebas di Mall Ambasador dan Ratu Plaza di Jakarta. Dalam kegiatan ini berhasil di sita CD Software sebanyak 10.000 keping dari 2 tempat yang berbeda.
CD software ini biasa di jual oleh para penjual yang ada di Mall Ambasador dan Ratu Plasa seharga Rp.50.000-Rp.60.000 sedangkan harga asli software ini bisa mencapai Rp.1.000.000 per softwarenya. Selain itu, Penggrebekan ini akan terus dilaksanakan secara rutin tetapi pelaksanaan untuk penindakan dibuat secara acak/random untuk wilayah di seluruh Indonesia. Salmon pardede, SH.,M.Si selaku Kepala Sub Direktorat Pengaduan, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, mengatakan bahwa “Dalam penindakan ini para pelaku pembajakan CD Software ini dikenakan Pasal 72 ayat 2 yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menyiarkan,memamerkan,mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran  Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana paling lama penjara 5 tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah ) dan tidak menutup kemungkinan dikenakan pasal 72 ayat 9 apabila dalam pemeriksaan tersangka diketahui bahwa tersangka juga sebagai pabrikan”.
Dengan adanya penindakan ini diharapkan kepada para pemilik mall untuk memberikan arahan kepada penyewa counter untuk tidak menjual produk-produk software bajakan karena produk bajakan ini tidak memberikan kontribusi kepada negara dibidang pajak disamping itu untuk menghindari kecaman dari United States Trade Representative (USTR) agar Indonesia tidak dicap sebagai negara pembajak.

4.      KASUS DISKRIMINASI DI INDONESIA
JAKARTA, KOMPAS.com — Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji dengan beragam tindakan diskriminasi. Selama 14 tahun setelah reformasi, setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Yayasan Denny JA mencatat, dari jumlah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar agama/paham agama sebanyak 65 persen. Sisanya, secara berturut-turut adalah kekerasan etnis (20 persen), kekerasan jender (15 persen), dan kekerasan orientasi seksual (5 persen).
“Semenjak reformasi, diskriminasi yang terjadi lebih bersifat priomordial, komunal, bukan seperti diskriminasi ideologi yang terjadi pada masa Orde Baru,” ujar Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, Minggu (23/12/2012), dalam jumpa pers di Kantor Lingkaran Survei Indonesia (LSI), di Jakarta.
Dari banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi, Yayasan Denny JA mendata setidaknya ada lima kasus diskriminasi terburuk pasca 14 tahun reformasi. Kelima kasus itu dinilai terburuk berdasarkan jumlah korban, lama konflik, luas konflik, kerugian materi, dan frekuensi berita. Setiap variabel diberikan nilai 1-5 kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing variabel. Pembobotan skor 50 diberikan pada variabel jumlah korban, skor 40 untuk lamanya konflik, skor 30 untuk luas konflik, skor 20 untuk kerugian materi, dan skor 10 untuk frekuensi berita. Hasilnya, konflik Ambon berada di posisi teratas, yakni dengan nilai 750, kemudian diikuti konflik Sampit (520), kerusuhan Mei 1998 (490), pengungsian Ahmadiyah di Mataram (470), dan konflik Lampung Selatan (330).
“Lima konflik terburuk ini setidaknya telah menghilangkan nyawa 10.000 warga negara Indonesia,” ucap Novriantoni. Konflik Maluku menjadi konflik kekerasan dengan latar agama yang telah menelan korban terbanyak, yakni 8.000-9.000 orang meninggal dunia, dan telah menyebabkan kerugian materi 29.000 rumah terbakar, 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur. Rentang konflik yang terjadi juga yang paling lama, yakni sampai 4 tahun.
Sementara konflik Sampit yang berlatar belakang etnis, yakni antara Dayak dan Madura, telah menyebabkan 469 orang meninggal dunia dan 108.000 orang mengungsi. Rentang konfliknya pun mencapai 10 hari. Konflik kerusuhan di Jakarta yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 juga tidak kalah hebatnya. Konflik ini menelan korban 1.217 orang meninggal dunia, 85 orang diperkosa, dan 70.000 pengungsi. Meski hanya berlangsung tiga hari, kerugian materi yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.
Konflik Ahmadiyah di Transito Mataram telah menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 8 orang luka-luka, 9 orang gangguan jiwa, 379 terusir, 9 orang dipaksa cerai, 3 orang keguguran, 61 orang putus sekolah, 45 orang dipersulit KTP, dan 322 orang dipaksa keluar Ahmadiyah. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang besar, konflik ini mendapat sorotan media cukup kuat dan rentang peristiwa pascakonflik selama 8 tahun yang tak jelas bagi nasib para pengungsi.
Konflik kekerasan yang terjadi di Lampung Selatan telah menimbulkan korban 14 orang meninggal dunia dan 1.700 pengungsi. “Secara keseluruhan, negara terlihat mengabaikan konflik-konflik yang sudah terjadi pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kasus bahkan tidak ada pelaku atau otak pelaku kekerasan yang diusut,” katanya.

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar